ARIFUDIN_Dapi. Lamsel. Partai Berkarya |
Belajar dari Pilkada DKI, walaupun hasil survei beberapa bulan sebelumnya telah memposisikan seorang calon pada posisi teratas dan diprediksi bakal menang, namun realitasnya dapat dikalahkan oleh situasi isu SARA. Keadaan yang terjadi pada Pilkada DKI merupakan suatu antitesis dan perlu untuk diantisipasi jika ingin mencalonkan dan terpilih kembali. Hasil berbagai survei baru-baru ini memang masih menempatkan Presiden Jokowi sebagai Capres teratas, tetapi hal ini belum bisa dijadikan sebagai pedoman atau pegangan, karena masih ada kemungkinan dibayang-bayangi oleh opini negatif.
Politik identitas terkait suku, agama, ras dan personal sebagai "black campaign" menjadi makanan empuk untuk ditonjolkan dan hasilnya terbukti efektif di DKI. Mengapa bisa efektif? Karena isu SARA dipicu sedikit saja, dapat membangkitkan sentimen perasaan dan mengaburkan rasionalitas pemilih . Proses Pilpres memang tidak bisa dilepaskan dari cara berkomunikasi dan persepsi yang ada serta berkembang di masyarakat. Bila terlena dan kurang hati-hati, prestasi serta kinerja selama menjabat satu periode, bisa saja dikalahkan opini negatif bahkan oleh isu sentimen SARA.
Komunikasi program "Nawacita" dan pelaksanaannya akan terdistorsi atau terhambat oleh "Opini Negatif Imajinatif" yang sedang dikembangkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Lalu, bagaimana cara mengatasinya?
Langkah yang dapat ditempuh bisa dengan berbagai cara, antara lain :
1. Komunikasi yang sudah ada dan terbina dengan baik selama ini di masyarakat perlu terus dijaga serta ditingkatkan lagi. Isu negatif sosok Presiden Jokowi seolah-olah telah jauh dari masyarakat yang dulu pernah mendukungnya perlu segera diperbaiki,
2. Keberhasilan program monitoring berupa kunjungan mendadak yang dikenal dengan istilah "blusukan", dimana Jokowi langsung berbaur dengan rakyat merupakan hal positif yang perlu terus dilakukan berkesinambungan,
3. Informasi dan berita mengenai pelaksanaan program "Nawacita" perlu dikomunikasikan bahkan diberikan penguatan serta ditingkatkan intensitasnya, agar citra positif tetap terpupuk di masyarakat,
3. Peran relawan yang ada ditengah-tengah masyarakat dan partai pendukung sebagai mesin suara juga perlu diperbanyak agar persepsi positif dapat timbul secara alami di masyarakat terutama penyampaian informasi tentang keberhasilan program pembangunan yang telah dilakukan,
4. Opini negatif yang dikembangkan saat ini oleh oknum lawan perlu diblok, dengan cara pemberian informasi pemahaman yang benar dari mulut ke mulut oleh relawan secara terus-menerus sehingga opini sehat konsituen tetap terjaga,
5. Para relawan Jokowi perlu duduk satu meja dan berkoordinasi kembali mencari formula yang tepat mengatasi opini negatif yang terlanjur sudah ada, apalagi masa menjelang Pilpres sudah semakin dekat,
6. Waktu satu tahun, sangatlah pendek sehingga Presiden Jokowi perlu kembali hadir dan berkoalisi dengan rakyat untuk meredam dan menangkal isu SARA. Persepsi positif Presiden Jokowi sebagai "Wong deso" yang lahir dari rahim rakyat kecil perlu dikelola kembali,
7. Penggunaan mekanisme penegakan hukum sebagai efek jera terhadap pelaku ujaran kebencian yang saat ini dilaksanakan oleh aparat penegak hukum, perlu mendapat apresiasi. Namun pendekatan penegakan hukum semata tidaklah cukup, melihat jumlah pelakunya juga tidak sedikit dan tersebar di berbagai daerah sehingga diperlukan langkah persuasif,
8. Persepsi negatif bahwa Presiden telah jauh dengan masyarakat pemilih yaitu yang tidak memilih Ahok perlu dihilangkan sehingga kunjungan ke beberapa pondok pesantren yang selama ini dilakukan sudah sangat tepat.
Pepatah bahwa "dalam politik tidak ada musuh dan teman abadi, yang ada hanya kepentingan dan kekuasaan abadi" perlu dicermati tanpa mengurangi rasa idealisme serta perjuangan. Keberhasilan dan kepiawaian Presiden Jokowi merangkul beberapa partai oposisi yang tergabung dalam KMP, bisa dijadikan acuan untuk merangkul beberapa ulama dan tokoh sentral yang tergabung pada persaudaran Alumni 212.
Komunikasi program "Nawacita" dan pelaksanaannya akan terdistorsi atau terhambat oleh "Opini Negatif Imajinatif" yang sedang dikembangkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Lalu, bagaimana cara mengatasinya?
Langkah yang dapat ditempuh bisa dengan berbagai cara, antara lain :
1. Komunikasi yang sudah ada dan terbina dengan baik selama ini di masyarakat perlu terus dijaga serta ditingkatkan lagi. Isu negatif sosok Presiden Jokowi seolah-olah telah jauh dari masyarakat yang dulu pernah mendukungnya perlu segera diperbaiki,
2. Keberhasilan program monitoring berupa kunjungan mendadak yang dikenal dengan istilah "blusukan", dimana Jokowi langsung berbaur dengan rakyat merupakan hal positif yang perlu terus dilakukan berkesinambungan,
3. Informasi dan berita mengenai pelaksanaan program "Nawacita" perlu dikomunikasikan bahkan diberikan penguatan serta ditingkatkan intensitasnya, agar citra positif tetap terpupuk di masyarakat,
3. Peran relawan yang ada ditengah-tengah masyarakat dan partai pendukung sebagai mesin suara juga perlu diperbanyak agar persepsi positif dapat timbul secara alami di masyarakat terutama penyampaian informasi tentang keberhasilan program pembangunan yang telah dilakukan,
4. Opini negatif yang dikembangkan saat ini oleh oknum lawan perlu diblok, dengan cara pemberian informasi pemahaman yang benar dari mulut ke mulut oleh relawan secara terus-menerus sehingga opini sehat konsituen tetap terjaga,
5. Para relawan Jokowi perlu duduk satu meja dan berkoordinasi kembali mencari formula yang tepat mengatasi opini negatif yang terlanjur sudah ada, apalagi masa menjelang Pilpres sudah semakin dekat,
6. Waktu satu tahun, sangatlah pendek sehingga Presiden Jokowi perlu kembali hadir dan berkoalisi dengan rakyat untuk meredam dan menangkal isu SARA. Persepsi positif Presiden Jokowi sebagai "Wong deso" yang lahir dari rahim rakyat kecil perlu dikelola kembali,
7. Penggunaan mekanisme penegakan hukum sebagai efek jera terhadap pelaku ujaran kebencian yang saat ini dilaksanakan oleh aparat penegak hukum, perlu mendapat apresiasi. Namun pendekatan penegakan hukum semata tidaklah cukup, melihat jumlah pelakunya juga tidak sedikit dan tersebar di berbagai daerah sehingga diperlukan langkah persuasif,
8. Persepsi negatif bahwa Presiden telah jauh dengan masyarakat pemilih yaitu yang tidak memilih Ahok perlu dihilangkan sehingga kunjungan ke beberapa pondok pesantren yang selama ini dilakukan sudah sangat tepat.
Pepatah bahwa "dalam politik tidak ada musuh dan teman abadi, yang ada hanya kepentingan dan kekuasaan abadi" perlu dicermati tanpa mengurangi rasa idealisme serta perjuangan. Keberhasilan dan kepiawaian Presiden Jokowi merangkul beberapa partai oposisi yang tergabung dalam KMP, bisa dijadikan acuan untuk merangkul beberapa ulama dan tokoh sentral yang tergabung pada persaudaran Alumni 212.
Kegaduhan yang sempat terjadi pada proses pencalonan Pilgub Jatim dengan membawa-bawa persaudaraan alumni 212 di media membuktikan bahwa tidak ada teman yang abadi dan dalam tubuh persaudaraan alumni 212 sendiri pun mengandung perbedaan dan potensi konflik. Pepatah bahwa "Lawan walaupun hanya satu itu lebih penting daripada kawan yang banyak" maka, tidak ada salahnya juga untuk mencoba alternatif lainnya yaitu bertemu dan silahturahmi dengan beberapa tokoh penting di Alumni 212, mudah-mudahan dapat dirangkul menjadi teman yang abadi dalam menghadapi opini negatif.