• Latest News

    Selasa, 14 Agustus 2018

    Lawan Terberat Jokowi pada Pilpres 2019

    ARIFUDIN_Dapi. Lamsel. Partai Berkarya
    Pilpres pada tahun 2019 didepan mata. Mesin politik di berbagai daerah  terlihat mulai bekerja untuk memenangkan para calonnya diPilkada tahun 2018 yang  diyakini sebagai ukuran dan batu loncatan untuk memenangkan Pilpres  tahun 2019. Menengok ke belakang, yaitu berkembangnya issue SARA pada Pilkada di DKI Jakarta dimana incumbent yang sebelumnya diprediksi oleh beberapa lembaga survei akan terpilih kembali, harus  menerima kekalahan sebagai calon Gubernur. Hal tersebut telah memberikan pelajaran, pengalaman dan pandangan baru atas teori dan seni kancah perpolitikan di Indonesia.
    Implikasi hasil Pilkada tersebut telah direspon dan terlihat secara kasat mata oleh publik, yaitu terkait dukungan Istana  Negara terhadap wakilnya semasa menjabat di DKI 1. Tidak dapat  dipungkiri, bahwa mantan Gubernur DKI (Ahok) memang memiliki  kedekatan khusus dengan pribadi Presiden Jokowi. Persepsi yang telah  terbentuk di masyarakat tidak dapat dihindari dan berpotensi  dihembuskan lagi oleh oknum lawan serta digoreng-goreng secara negatif  pada Pilpres 2019.

    Belajar dari Pilkada DKI, walaupun hasil survei  beberapa bulan sebelumnya telah memposisikan seorang calon pada posisi  teratas dan diprediksi bakal menang, namun realitasnya dapat dikalahkan oleh situasi isu SARA. Keadaan yang terjadi pada Pilkada DKI merupakan  suatu antitesis dan perlu untuk diantisipasi jika ingin mencalonkan dan  terpilih kembali. Hasil berbagai survei baru-baru ini memang masih  menempatkan Presiden Jokowi sebagai Capres teratas, tetapi hal ini belum  bisa dijadikan sebagai pedoman atau pegangan, karena masih ada kemungkinan dibayang-bayangi oleh opini negatif.
    Politik identitas terkait suku, agama, ras dan personal sebagai "black campaign" menjadi makanan empuk untuk ditonjolkan dan hasilnya terbukti efektif di DKI. Mengapa bisa efektif? Karena isu SARA dipicu sedikit saja, dapat membangkitkan sentimen perasaan dan mengaburkan rasionalitas  pemilih . Proses Pilpres memang tidak bisa  dilepaskan dari cara berkomunikasi dan persepsi yang ada serta berkembang di masyarakat.  Bila terlena dan kurang hati-hati, prestasi serta kinerja selama menjabat  satu periode, bisa saja dikalahkan opini negatif bahkan oleh isu sentimen  SARA.

     Komunikasi program "Nawacita" dan pelaksanaannya akan  terdistorsi atau terhambat  oleh "Opini Negatif Imajinatif" yang sedang dikembangkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Lalu, bagaimana cara mengatasinya?

    Langkah yang dapat ditempuh bisa dengan berbagai cara, antara lain :

    1. Komunikasi yang sudah ada dan terbina dengan baik selama ini  di masyarakat perlu terus dijaga serta ditingkatkan lagi. Isu negatif  sosok Presiden Jokowi seolah-olah telah jauh dari masyarakat yang dulu  pernah mendukungnya perlu segera diperbaiki,

    2. Keberhasilan program monitoring berupa kunjungan mendadak yang dikenal dengan istilah "blusukan", dimana Jokowi langsung berbaur dengan rakyat merupakan hal positif yang perlu terus dilakukan berkesinambungan,

    3. Informasi dan berita mengenai pelaksanaan program "Nawacita"  perlu dikomunikasikan bahkan diberikan penguatan serta ditingkatkan intensitasnya, agar citra  positif tetap terpupuk di masyarakat,

    3. Peran relawan yang ada ditengah-tengah masyarakat dan partai pendukung  sebagai mesin suara juga perlu diperbanyak agar persepsi positif dapat timbul secara alami di masyarakat terutama penyampaian informasi tentang keberhasilan program pembangunan yang telah dilakukan,

    4. Opini negatif yang  dikembangkan saat ini oleh oknum lawan perlu diblok, dengan cara  pemberian informasi pemahaman yang benar dari mulut ke mulut oleh relawan secara terus-menerus sehingga opini sehat konsituen tetap  terjaga,

    5. Para relawan Jokowi perlu duduk satu meja dan berkoordinasi kembali mencari formula yang tepat mengatasi opini negatif yang terlanjur sudah  ada, apalagi masa menjelang Pilpres sudah semakin dekat,

    6. Waktu satu tahun, sangatlah pendek  sehingga Presiden Jokowi perlu  kembali hadir dan berkoalisi dengan  rakyat untuk meredam dan menangkal  isu SARA. Persepsi positif Presiden  Jokowi sebagai "Wong deso" yang lahir dari rahim rakyat kecil perlu dikelola kembali,

    7. Penggunaan  mekanisme penegakan hukum sebagai efek jera terhadap pelaku ujaran  kebencian yang saat ini dilaksanakan oleh aparat penegak hukum, perlu  mendapat apresiasi. Namun pendekatan penegakan hukum semata tidaklah  cukup, melihat jumlah pelakunya juga tidak sedikit dan tersebar di  berbagai daerah sehingga diperlukan langkah persuasif,

    8. Persepsi negatif bahwa Presiden telah jauh dengan masyarakat pemilih yaitu yang tidak memilih Ahok perlu  dihilangkan sehingga kunjungan ke beberapa pondok pesantren yang  selama ini dilakukan sudah sangat tepat.

    Pepatah bahwa "dalam politik tidak ada musuh dan teman abadi, yang ada hanya kepentingan dan kekuasaan abadi" perlu  dicermati tanpa mengurangi rasa idealisme serta perjuangan.  Keberhasilan dan kepiawaian Presiden Jokowi merangkul beberapa partai oposisi yang  tergabung dalam KMP, bisa dijadikan acuan untuk merangkul beberapa ulama  dan tokoh sentral yang tergabung pada persaudaran Alumni 212. 

    Kegaduhan yang sempat terjadi pada proses pencalonan Pilgub Jatim dengan membawa-bawa persaudaraan alumni 212 di media membuktikan bahwa tidak ada teman yang abadi dan dalam tubuh persaudaraan alumni 212 sendiri pun mengandung perbedaan dan potensi konflik.  Pepatah bahwa "Lawan walaupun hanya satu itu lebih penting daripada kawan yang banyak" maka,  tidak ada salahnya juga untuk mencoba alternatif lainnya yaitu bertemu dan silahturahmi dengan beberapa tokoh penting di Alumni 212, mudah-mudahan dapat dirangkul menjadi teman yang abadi dalam menghadapi opini negatif.
    • Netizen Comments
    • Facebook Comments
    Item Reviewed: Lawan Terberat Jokowi pada Pilpres 2019 Rating: 5 Reviewed By: harian andalas post
    Scroll to Top